Relatifitas

Dalam kehidupan kita telah dikenalkan pada konsep dualisme, yakni ada besar ada kecil, ada baik ada buruk,ada pria ada wanita, ada cantik ada (mohon maaf) tidak cantik. ect  konsep tersebut sebenarnya mengarahkan kita pada mengkotak-kotakkan, mana yang baik mana yang tidak baik...iya nggak sih ?

sebenarnya kita sering kali memisahkan suatu hal hanya karena legitimasi suatu teori, contohnya ada tipe orang ekstrovert dan introvert, atau adanya hitam dan putih, sebenarnya keduanya saling berkaitan. tidak ada orang ekstrovert yang tidak memiliki sifat introvert begitu sebaliknya (orang ekstrovet biasanya juga pengen sendiri) dan dulu ketika kita semasa duduk di Sekolah Dasar kita di ajarkan pelajaran IPA yang mana warna putih itu adalah perpaduan dari semua warna. ehh benar nggak sih kalo gak salah seperti itu (soalnya saya udah jadi anak IPS wkwk...)

dari konsep dualisme ini kita tidak mengambil keseluruhan coyy,

maka saya akan menaruh batasan terlebih dahulu,  yang kita ambil adalah  tentang kata sifat. seperti jauh dekat, baik buruk dll.
pernah nggak kita curhat ke teman kita lalu teman kita menimpali dengan curhatan yang sama tapi dengan kapasitas lebih, misal,,kamu curhat "aku sakit gara gara pacarku gak peka", lalu temanmu menimpali. "aku malah lebih sakit aku ditinggal pacarku tanpa alasan" dalam bahasa keren sekarang tanggapan seperti itu disebut tanggapan yang toxic. hehehe dari sini kita dapat pahami bahwa kata sifat itu relatif sekali tergantung pada titik mana orang melihat dan waktu orang itu melihat.

coba kita kesampingkan terlebih dahulu pemahaman di atas, kita beranjak pada apa itu relatifitas, mengapa bukan relatifisme, karena relatifitas itu murni bukan keadaan yang di buat oleh manusia, sedangkan relatifisme adalah teori yang mempercayai adanya relatifitas. dalam sebuah buku madilog karya Bapak Republik yakni Datuk Tan Malaka, ia menerangkan bahwa(dalam bahasa saya) kata sifat itu tidak kemudian gampang untuk di kotak-kotakkan. di contohkan oleh Tan malaka bahwa jauh dan dekat itu bukan suatu kemutlakan, kita bisa saja mengatakan jarak 10 meter itu jauh, dan boleh juga si A mengatakan jarak 10 meter itu dekat, keduanya sama sama benar adanya.

misal si A dan si B berjarak 20 km, keduanya saling menghampiri si A berjalan ke arah si B dengan kecepatan 6 km/jam sedang si B berjalan ke arah si A dengan kecepatan 4km/jam. dalam 2jam hasilnya si A  dan si B bertemu. jika dilogikakan sebenarnya si A dan si B hanya berjarak 10km bukan 20 km, jika dilihat pada waktu 1 jam setelahnya. (maaf jika kemudian penulis gagal paham mengenai contoh logika yang dibawakan tan, sesedikit inilah penulis menyerapnya)

tambahan:
saya contohkan lagi; misal ketika saya ingin menuju rumah saya yang berjarak 100 meter dan di titik saya berdiri, disebelah saya terdapat tiang yang berderetan secara rapi hingga kerumah saya dan masing masing tiang berjarak 10 meter. maka jika saya berjalan menuju rumah saya dan saya selalu menaruh pandangan saya pada tiang-tiang tersebut sambil bergumam 10 meter, 10 meter, 10 meter........................ setelah pada tiang ke 9 kemudian saya memindah pandangan saya terhadap rumah saya maka jelas rumah saya hanya berjarak 10 meter dari tempat saya, dan saya tidak akan mengeluh tentang jauhnya rumah saya. 

contoh lain juga pernah saya dengar dari mas sabrang, bahwa orang susah itu yang mana ? apakah semua orang memiliki kesusahan dalam hidupnya? sudah pasti. tetapi kemudian kesusahan itu tidak lantas menjadikan kesusahan yang hakiki, seorang pengusaha kaya raya memiliki 10 pesawat terbang lalu susah karena terpaksa harus menjual 2 buah karena hutang.  edan ..kan bagi orang orang seperti kita saja hidup ga punya hutang udah alhamdulillah,. lha mereka masih punya 8 pesawat, hilang 2 dijual, sudah susahnya minta ampun provit menurun dll. kurang lebih begitu mas sabrang mencontohkannya, mungkin jika pengusaha kaya tadi melihat orang-orang yang kurang mampu pasti ia tidak menilai 2 pesawatnya adalah masalah baginya.

nah coy, sudah dapat dipahamikan bahwa kata sifat itu relatif, ia tergantung pada titik mana kita melihat atau di waktu seperti apa kita memahami suatu keadaan.
dalam contoh kehidupan kita begitu banyak sekali orang bebas menilai kita gagal, kita berhasil, kita senang kita susah, dan semua itu tiada tetap sekalipun selain hanya berbolak balik.

dongeng:..
ada sepasang suami istri memiliki 3 orang anak laki-laki yang ganteng dan gagah-gagah, lalu semua orang berkata "waaah kalian beruntung yaa mempunyai 3 orang anak gagah-gagah" kemudian di usia dewasa 3 anak tersebut mengendarai kuda dan jatuh sehingga ketiga-tiganya kakinya patah, kemudian semua orang berkata"hmmm mungkin kalian kurang beruntung, gara-gara jatuh dari kuda sampai kaki 3 anak kalian patah",  lalu beberapa tahun kemudian terjadi perang dan 3 anak itu tidak bisa mengikuti perang. lalu semua orang berkata "waah kalian sangat beruntung..anak kalian tidak dipertaruhkan nyawanya dalam suatu peperangan". kemudian orang orang yang ikut perang kembali, dan ternyata mereka menang, mereka kembali dengan membawa barang jarahannya(rampasannya). lalu semua orang berkata " hmmm kalian kurang beruntung yaa anak anak kalian gak ikut perang sehingga tidak mendapat bagian dari harta rampasan".


huuuh relatifkan :) dengan gampangnya suatu keadaan itu berbolak balik. tergantung tadi pada titik mana kita melihat dan di waktu yang seperti apa. oiya keadaan merubah status, bukan status merubah keadaan.





rik,
Pasuruan, maret 2020








Komentar